Pada hakikatnya setiap rezeki adalah ketetapan Allah, dan setiap manusia (makhluk) pasti akan mendapatkan bagian rezekinya. Oleh sebab itu, tak perlu ada kekhawatiran dan ketakutan bakal tak tercukupi. Apalagi kalau sampai harus mencarinya lewat cara mengabaikan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Kajian Hikam 6
Semangat berusaha dan berikhtiar untuk meraih rezeki yang telah dijanjikan Allah merupakan sifat dasar manusia. Tapi bila hal itu dilakukan atas dasar ambisi (nafsu), akan berkembang dan merubah seseorang menjadi tamak dan serakah.
Banyak orang menggunakan amal ibadah sebagai alat untuk merayu Allah, agar disegerakan (dikabulkan) permohonannya. Keinginan tersebut merupakan ciri seorang hamba yang kurang percaya pada ketetapan dan janji Allah. Sedangkan, berpaling dari munajat (doa), amal ibadah, usaha dan ikhtiar adalah sifat hamba yang frustrasi dan buta mata hati, alias tak mampu melihat kehendak-Nya (irodatullah). Mengabaikan usaha dan ikhtiar adalah bentuk kesombongan.
Utamakan Akhirat
Dorongan dan semangat meningkatkan kualitas hidup jasmaniah adalah himmah (tekad) yang terpuji. Tetapi akan lebih terpuji lagi bila kualitas hidup ruhaniahnya yang lebih ditingkatkan, sehingga teruji dan dipuji Allah. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (Al Qashash: 77)
Oleh karena itu para salikin hendaknya istiqomah pada pijakan yang telah ditetapkan Allah, sekaligus bersabar dengan apapun yang telah dijanjikan-Nya. Sebab, berpaling dari sesuatu yang ditetapkan Allah, dapat memadamkan cahaya hati dan membutakan bashirotul qolbi.
Allah menganugerahi rezeki lahiriah, yang merupakan sarana perjalanan hidup hamba di muka bumi. Dan alur rezeki hingga sampai di pangkuan seorang hamba, tentunya melalui sebab-musabab usaha dan ikhtiar. Tak satu pun makhluk yang luput alias tidak menerima curahan rezeki dari Allah. Bahkan binatang yang tidak dapat membawa dan mengurus rezekinya sendiri sekalipun tetap memperoleh curahan rezeki Allah.
Untuk itu semua, Allah tidak menuntut imbalan apapun dari makhluk-Nya. Kecuali seorang hamba harus berpijak pada titian kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya. Yaitu amal ibadah yang sempurna, agar mencapai kebahagiaan akhirat.
Perwujudan ibadah yang sempurna dari seorang hamba, ialah menyandarkan hati yang diliputi tauhid mukasyafah (yang terbuka). Dan hal itu hanya dapat terjadi lewat hidayah Allah. Dan hidayah itu sendiri adalah anugerah Allah yang dipancarkan ke dalam lubuk hati hamba-hambaNya.
Oleh karena itu, setiap salikin wajib mengetahui status kehambaannya, dan menerima ketetapan-Nya (sunatullah) atau beban hukum dari Allah (taklif). Semua salikin juga harus berusaha dan berikhtiar, sesuai dengan kehendak Allah. Yaitu lewat sikap sabar dan tawakal, dan tetap berada pada jalan yang benar (shirothol mustaqim), yang telah digariskan Allah serta dicontohkan oleh Rasul-Nya.
Hati Yang Bersih
Orang yang berani menuntut dan protes kepada Allah, adalah orang yang buta mata hatinya dan keluar dari kodrat kehambaannya. Mereka tidak memahami bahwa sesungguhnya segala kebutuhan hidupnya sudah dijamin dan dicukupi oleh Allah.
Padahal Allah menganugerahi mata hati (bashirotul qolbi) di dalam hati setiap hamba, sebagai nur (cahaya) untuk memahami kehendak-Nya. Karena dengan mengetahui irodatullah, seorang hamba dapat menentukan sikap berpijak yang benar, dan berperangai dengan akhlak yang qona’ah dan tawakkal. Bila hal itu diaplikasikan dengan benar, maka hati seorang hamba akan bersinar. Karena terbasuh oleh air muroqobah (pemantau), juga telah bersih dari aghyar (kecemburuan). Sebab, ketika hati masih kotor dan aghyar masih melekat di hati, dapat menjalar dan menyebabkan hati terinfeksi oleh isytighol(kebimbangan) pada selain Allah.
Maka itu, bagi siapa pun hendaklah bersungguh-sungguh dalam menuju kepada Allah. Serta melazimkan muroqobah seiring dengan riyadhoh dan mujahadah, sekaligus bermunajat sesuai dengan kehendak-Nya, agar memperoleh anugerah (minnah) Allah.
Jangan putus asa agar mendapatkan anugerah Allah, kendati yang diharap tak kunjung datang. Tetaplah berdoa seiring ikhtiar dan usaha. Dalam hal ini Ibn 'Athoillah menjelaskan: “Jangan engkau berputus asa karena kelambatan pemberian Allah kepadamu, padahal doamu bersungguh-sungguh. Allah telah menjamin menerima semua doa sesuai dengan yang Dia kehendaki untukmu pada waktu yang telah Dia tentukan. Bukan menurut kehendakmu dan bukan pada waktu yang engkau tentukan”.
Kemudian dalam Hadis dinyatakan: “Doa adalah senjata bagi orang yang beriman”. Juga di sisi lain menerangkan: “Doa itu sumsum ibadah”. Berarti, perjuangan tanpa doa binasa dan doa yang tidak diiringi usaha adalah sia-sia.
Karena itu, jadikanlah doa dan usahamu sebagaimana menyatunya ruh dengan jasad pada diri manusia. Sebab yang disebutinsan kamil (manusia seutuhnya) adalah manakala jasad dengan ruh bertemu dalam satu wujud, yaitu manusia. Tidak akan disebut manusia yang sempurna, bila hanya ada ruh. Begitu pula sebaliknya, hanya disebut mayat, bila manusia hanya ada jasadnya saja, tanpa ruh.
Allah Sangat Dekat
Apakah setiap doa akan dikabulkan oleh Allah? Pertanyaan tersebut akan terjawab bila seseorang telah memahami apa yang disebut hakikat doa. Maka, jangan berhenti dari kesungguhan doa, juga jangan berpaling dari-Nya hanya karena Allah tidak segera mengabulkan. Pun jangan menghardik apalagi protes. Karena firman-Nya menyatakan: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu” (Al Mu’min: 60)
Oleh karena itu yakin dan husnuzhon (sangka baik) lah kepada Allah, bahwa Dia tidak mungkin mengingkari janji-Nya. Kemudian amati dan patuhi dengan seksama segala petunjuk-Nya, terutama syarat-masyrut adab berdoa. Kemudian, renungkan firman Allah berikut: “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al Baqarah: 186)
Sesungguhnya Allah itu dekat dengan setiap hamba-Nya. Bahkan kedekatan-Nya diurai dalam firman-Nya: “Kami (Allah) lebih dekat kepadanya dari urat nadi.” (Qaaf: 16). Maka jangan pernah mengatakan: “Allah tidak mengabulkan doa kami.”
Yang kerap masih menjadi masalah adalah pemahaman tentang Allah dekat dengan hamba-hambaNya, dan Allah juga mengabulkan setiap pinta dan doa. Maka untuk memahami hal itu perlu ada kajian ilmu tauhid yang dapat memberikan pengetahuan tentang Allah dan keberadaan-Nya.
Setiap doa yang dikabulkan harus dipahami sebagai janji-Nya, yang dipenuhi sesuai dengan kehendak-Nya. Karena ada kalanya sebuah doa dikabulkan di dunia, dan ada pula di akhirat. Bila yang dimohon adalah sesuatu yang sesuai dengan kehendak Allah, maka akan diberikan segera. Tetapi bila permohonannya tidak sesuai dengan kehendak-Nya, maka sebagai gantinya Allah akan memberikan sesuatu yang sesuai dengan kehedakNya. Yang pasti, Allah tidak pernah mengingkari janji-janjiNya.
Ketika Allah memperkenankan sebuah permohonan, tentu Ia memperkenankan sesuai dengan yang Dia anggap tepat buat hambaNya. Bukan karena sesuai dengan nafsu hamba. Dan setiap gejolak jiwa yang dirasakan seorang hamba, adalah rahmat. Karena terkadang seseorang benci terhadap sesuatu yang tak seirama dengan nafsunya, padahal hal itu baik untuknya. Begitu pula sebaliknya. Terkadang seseorang mencintai sesuatu yang belum tentu baik untuknya, atau bahkan jahat serta dapat merusak lahir batinnya.
Dalam Al Quran Allah menyatakan: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(Al Baqarah: 216).
Maka itu, pasrahkan diri dalam pilihan-Nya, sesuai dengan kehendak-Nya. Agar meraih yang terbaik yang diridai Allah. “Tuhanmulah yang menjadikan segala yang dikehendaki-Nya dan Ia memilihnya sendiri, tiada hak bagi mereka untuk memilih (sesuatu apapun)”.
Karena itu, jangan memilih sesuatu apapun. Jika harus memilih, maka pilihlah untuk tidak memilih. Karena jika seseorang telah berhenti dari memilih sesuatu, kemudian menyerahkan semuanya kepada Allah, maka Ia akan memilihkan yang terbaik menurut-Nya.
Perkenan Doa
Terkadang sebuah doa dikabulkan sesuai yang diminta. Tapi bisa juga Allah mengganti dengan sesuatu yang lain yang lebih baik. Misalnya terhindar dari sebuah malapetaka, diampuni dosa atau kesalahannya, atau mendapat curahan nikmat. Meski ada kalanya Allah menunda pengabulannya kelak di akhirat. Sebagaimana dinyatakan dalam Hadis yang bersumber dari Anas ra.: “Tiada seorang pun yang berdoa, melainkan Allah pasti akan mengabulkan doanya atau dihindarkan dari bahaya padanya atau diampuni sebagian dari dosanya selama ia tidak berdoa untuk sesuatu yang menjurus kepada dosa atau untuk memutuskan hubungan sanak keluarga.”
Pada Hadis lain yang diriwayatkan Muslim menerangkan: “Tiada seorang pun yang berdoa kepada Allah dengan rangkaian doa yang tak durhaka, melainkan Allah akan menganugerahkan dengan salah satu dari tiga perkara: Pertama di segerakan doanya, kedua ditunda untuk di akhirat dan ketiga dihindarkan dari malapetaka walau sekedarnya.”
Maka akuilah kekuasaan dan kehendak Allah yang absolut. Bahwa Allah mengabulkan sebuah doa pada waktu yang dikehendaki-Nya, dan bukan pada waktu yang dikehendaki oleh seorang hamba. Karena khiar (pilihan) Allah bagi hambaNya pasti lebih baik dari pada khiar hamba bagi dirinya.
Hakikatnya, setiap doa itu pasti dikabulkan. Masalahnya hanya soal waktu. Sebagaimana doa Musa as. dan Harun as.: “Allah berfirman: Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-sekali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui.” (Yunus: 89). Firman tersebut menjelaskan tentang pengabulan doa Nabi Musa as. dan Harus as. untuk kehancuran Fir’aun. Doa tersebut baru dikabulkan empat puluh tahun kemudian. Begitu pula Nabi Muhammad SAW yang berdoa untuk Umar Ibn Khatab ra., agar diberi hidayah dan menjadi pendamping beliau yang setia. Baru dua tahun kemudian dikabulkan. Dan masih banyak lagi riwayat semacam uraian di atas.
Orang-orang yang telah dekat dengan Allah, dan mengenal dengan baik diriNya, disebut arifin billah. Dan bagi mereka (para arifin billah), tak ada ungkap kata munajat kecuali pengabulannya. Dalam hal ini, mereka tidak menyalahi aturan-aturan permainan munajat, baik adab, juga tidak mengabaikan syarat-syarat lahir maupun batin. Yang jelas, apa yang mereka pinta harus sesuai dengan kehendak-Nya.
Sedangkan orang yang suka melontarkan protes dengan kalimat: “Aku telah berdoa bahkan sering, namun doaku tak pernah dikabulkan” disebut dengan isti’jal. Berbeda dengan orang yang berdoa dengan ikhtiar Allah pada dirinya, maka Allah memperkenankan doanya sesuai dengan kehendakNya.
Karena, yang terpenting, setiap doa yang dipanjatkan harus murni dari segala “ikhtiar diri”. Artinya terlepas dari rasa kuasadan iradat hamba. Setiap doa bagi orang yang tak meninggalkan ikhtiar serta kebergantungan pada ridho Allah, maka pengabulannya istidroj (uluran dari Allah yang akan mempercepat prosesnya kesesatan).
Sebagai bukti bahwa Allah memperkenankan doa seorang hamba, niscaya dikaruniai idhthiror (tak ada doa kecuali dikabulkan) dalam doanya. Memang, pada hakikatnya idhthiror tidak mustahaq (mutlak) bagi hamba. Tetapi musthahaq pada diri orang yang mampu fana saat berdoa. Dengan kata lain, orang tersebut tidak melihat dirinya punya perbuatan, melainkan mutlak disandarkan kepada Allah. Hal itu dapat dilakukan oleh siapa saja yang telah sampai pada keyakinan yang jazam (tidak tertawar) kepada janji Allah.