Jangan merasa bisa, jangan merasa lebih, jangan merasa ada, jangan merasa apapun
Sebutlah seorang Mursyid yang mengelana bersama beberapa salikin. Mursyid sengaja membawa mereka berjalan-jalan untuk memberi pelajaran secara langsung. Ketika tiba di sebuah tempat bertemulah rombongan mereka dengan seseorang yang kemudian menasehati Mursyid, agar tidak begini begitu, dan seterusnya. Bahkan tak lupa orang tersebut memberikan lembaran-lembaran kertas berisi doa-doa unutk diamalkan oleh Mursyid.
Melihat kejadian itu para salikin menjadi marah. Dalam pandangan mereka, orang yang menasehati Muryid adalah orang yang kurang ajar. Orang itu harus diberi tahu bahwa yang dia hadapi adalah seorang Mursyid, yang keilmuannya jauh melebihi orang tersebut. Beberapa salikin kemudian hendak menegur orang tadi sebelum kemudian dicegah oleh Mursyid mereka. "Kalian tidak lulus ujian. Karena tersinggung dan marah berarti kalian masih merasa lebih". Demikian kata Mursyid. Para salikin pun diam membisu.
Merasa lebih dan merasa bisa adalah salah satu penyakit hati. Beberapa ulama menyebutkan sebagai kibir yang termasuk cabang dari sifat sombong. Sifat itu bersemayam di hati setiap manusia, kecuali manusia yang ikhlas. Ia bisa bersemayam pada hati seorang suami yang merasa mampu membiayai istri dan anak-anaknya. Pada seorang istri yang merasa paling dicintai oleh suaminya. Pada murid yang mengaku dirinya lebih pintar dari gurunya. Guru yang merasa bisa memberi ilmu kepada muridnya. Pada pemimpin yang merasa bisa memimpin. Pada rakyat yang merasa bisa menentang pemimpinnya. Pada orang kaya yang merasa menjadi penderma harta. Pada orang miskin yang merasa dikasihani orang kaya. Pada siapa saja yang merasa bisa dan merasa lebih.
Seorang yang memiliki sifat sombong niscaya mudah marah dan mudah tersinggung. Dua perangai itu merupakan satu kesatuan dengan kesombongan yang asal usulnya bersumber dari api. Karena sifat api selalu dan pasti menyala ke atas, maka demikian pula dengan orang sombong, yang selalu dan pasti merasa di atas yang lain.
Jika api sudah bersemayam dalam hati manusia dipastikan tak akan ada lagi kesejukan. Meski menyelam ke dasar telaga yang paling dingin pun, hati mereka akan terasa panas. Perasaan lebih dari orang lain, adalah api yang membakar hati. Ibarat sebuah rumah yang terbakar, maka seisi rumah akan pengap dan gelap karena asap yang ditimbulkan oleh api. Demikian pula manusia yang hatinya terbakar oleh kesombongan. Jiwanya hangus dan kesadarannya lenyap karena terhalang oleh gelapnya kemarahan.
Orang yang sombong dengan ilmunya akan marah jika ada yang mengatakan atau menganggapnya bodoh. Orang yang sombong dengan harta dan kedudukannya akan tersinggung ketika dilecehkan. Orang yang sombong dengan kebenarannya tidak akan menerima ketika ada yang mengingatkan atau menyalahkannya. Intinya, orang sombong selalu merasa di atas orang lain.
Dikisahkan pada suatu hari seorang salikin melakukan khalwat di sebuah tempat sepi agar sampai kepada Allah. Berminggu-minggu dia menyendiri. Dan suatu hari salikin itu berkata dalam hati bahwa besok atau setelah khalwat itu hatinya akan terbuka. Seorang wali Allah mendengar gemeretak rasa si salikin dan kemudian menegurnya. "Bagaimana mungkin orang yang berkata besok hatinya akan terbuka bisa menjadi wali. Aduhai badan, kenapa kamu beribadah hanya ingin menuruti nafsu menjadi wali".
Perasaan yang dialami oleh salikin tadi adalah sebuah perasaan yang ditimbulkan oleh seseorang yang hatinya menyimpan rasa (ada). Padahal ketuka seseorang merasa ada, pada saat itukah dia menisbikan Allah. Manusia yang merasa menjadi wali, menjadi penguasa, menjadi penderma dan sebagainya, pada hakikatnya telah meniadakan Dzat yang ada yaitu Allah SWT.
Mereka yang mempunyai dua sifat itu tidak akan pernah sampai kepada ALlah, meskipun dia sudah merasa mengabaikan dunia. Dua sifat itu menyesatkan dan menjauhkan kita dari kebaikan yang sangat besar (ma'rifah).
Obat mujarab untuk mengikis sifat sombong ada dua. Pertama, istiqamah. Yaitu selalu menetapkan diri dan hati dalam memandang Allah. tak ada sesuatu pun yang tampak, melainkan hanya Allah. Pada kisah Mursyid diawal tadi, seharusnya yang dilakukan salikin adalah bukan marah ataupun balas menasehati. Namun justru memandang dan mengembalikan semunya kepada Allah. Demikian pula pada kisah ke dua, tentang salikin yang merasa akan sampai kepada Allah, seharusnya pun mengembalikan semuanya hanya kepada Allah.
Kemudian obat yang kedua adalah dengan memberi maaf. Hanya dengan memeberi maaf semua kemarahan akan menjadi padam. Nabi mengatakan bahwa, "Jika engkau marah segeralah mengambil wudu". Dan wudu dalam hal ini bukanlah semata-mata wudu lahiriah, yang mengandung pengertian menyiram air pada wajah, tangan, kepala hingga kaki. Melainkan wudu hakikat, yakni membersihkan hati dan jiwa dengan cara memberi maaf. Percuma menyiramkan air ke seluruh tubuh, jika setelah itu hati tetap membara. Dan hakikat wudu sebagaimana dimaksudkan Nabi adalah maul barid atau air yang menyejukkan. Sementara tidak ada air yang lebih menyejukkan kecuali memberi maaf.
Insya Allah dengan cara istiqamahi dan kesediaan memberi maaf, sifat merasa ada dan merasa bisa, akan sirna dari dalam hati. Dan pada saat itu kita akan dapat menyaksikan keindahan wajah-Nya.
Oleh : Syekh Maulana Hizboel Wathony Ibrahim
No comments:
Post a Comment