Ketika puasa yang dilakukan oleh ular menghasilkan kulit yang baru, dan ayam yang berpuasa menghasilkan anak ayam, lalu apa yang dihasilkan oleh puasa manusia ?
Apa yang membedakan antara orang yang berpuasa dengan orang yang kelaparan? secara obyetif tidak ada. Perut mereka sama-sama melilit, semetara mulut mereka juga kering. Namun secara subyektif mereka berlainan. orang yang berpuasa sengaja berniat melaparkan diri sementara orang yang kelaparan kemungkinan besar tidak berniat untuk itu. Karena unsur niat itulah, pada titik tertentu bisa menyebabkan orang yang kelaparan, misalnya, menderita busung lapar atau mengalami rusaknya beberapa sel di lambung mereka. Namun orang yang berpuasa malah bisa bertambah sehat, karena sel-sel lambungnya diistirahatkan untuk bekerja.
Lalu apakah kalau demikian bisa diambil kesimpulan bahwa berpuasa memang bermanfaat, meskipun katakanlah hanya menyangkut soal kesehatan? Belum tentu.Karena puasa yang diniatkan sekalipun, pada akhirnya bisa merusak kesehatan bahkan lebih parah dari penderitaan orang yang kelaparan jika puasanya tidak dilakukan dengan sebuah kesadaran. Orang yang berniat puasa, namun pada saat melalukan puasa masih memikirkan hidangan apa yang akan menjadi santapan pembuka misalnya, adalah puasa yang tidak dilakukan dengan kesadaran. Akibat yang paling mungkin dari puasa semacam itu adalah munculnya perilaku jiwa yang gelisah karena menunggu saat berbuka.
Puasa adalah ibadah rahasia yang berbeda kadar dan nilainya, dibanding ibadah lain seperti shalat, zakat, atau haji. Bukan semata karena ibadah puasa tidak memiliki gerakan atau tindakan yang kasat mata seperti gerakan-gerakan dalam shalat atau tindakan tangan membayar zakat melainkan karena ia sepenuhnya adalah ibadah rasa yang diketahui oleh si pelaku dan Allah. Karena bersifat rasia Allah, maka yang tahu kadar dan nilai puasa yang dilakukan sudah benar sebagai puasa, tentunya hanya Allah SWT.
Orang yang berpuasa mungkin saja tahu, namun pengetahuannya akan puasa yang dilakukannya hanya sebatas dugaan yang belum tentu tepat dan belum tentu tidak tepat hanya sebuah klaim dari rasa. Hadits qudsi dari Muttafaq'alaih yang menegaskan "Setiap kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus lipat, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberi pahalanya" adalah isyarat bahwa hanya Allah yang tahu rahasia dari puasa yang dilakukan mahkluk (manusia).
Karena bersifat rahasia, maka puasa tidak secara linier bersangkut paut dengan laparnya perut, keringnya mulut, dahaganya kerongkongan dan padamnya gelora syahwat. Perut yang lapar, kerongkongan yang dahaga dan syahwat yang padam, hanya sebuah media agar manusia insyaf dengan ketidakberadaannya sebagai manusia. Jauh-jauh hari Nabi sudah mengingatkan, bahwa "Ramai orang berpuasa namun hanya mendapatkan lapar dan dahaga." Salah satu penyebabnya, karena manusia hanya sanggup memuaskan jasmaninya yaitu perut, mulut, kerongkongan dan organ seksnya, tapi tidak dengan pikiran, jiwa dan hatinya. Hasilnya bisa ditebak : lapar dan dahaga yang diperoleh dari puasa tidak berbekas pada perilaku (akhlak) bahkan pada saat periode puasa itu dilakukan.
Maka liatlah ular yang menempuh puasa kemudian menghasilkan kulit baru yang lebih baik dari kulit sebelumnya. Perhatikanlah induk ayam yang berpuasa selama 21 hari menghasilkan anak-anak ayam penerus kehidupan. Saksikanlah beruang kutub yang berpuasa pada musim dingin menjadikan benih-benih ikan kod lebih siap diburu. Hiu yang berpuasa menghasilkan gigi baru. Singkat kata, puasa yang dilakukan dengan sebuah kesadaran betapapun kesadaran itu hanya sebatas naluri seperti binatang-binatang itu pada akhirnya memang menghasilkan sesuatu.
Puasa ramadhan yang dilakukan orang-orang beriman seharusnya menghasilkan sesuatu itu. Sesuatu itu misalnya bisa berupa keinsyafan untuk tidak lagi berperilaku takabur, tidak dengki, tidak aniaya, tidak malas, tidak merasa paling dan sebagainya. Pada tataran sosial, sesuatu itu bisa menjelma kesadaran untuk tidak melakukan korupsi kendati peluang untuk itu ada, tidak menyuap dan bersedia disogok untuk urusan apapun, tidak kikir dan menumpuk-numpuk harta, tidak sewenang-wenang bila menjadi pemimpin, tidak khianat bila dipercaya, dan sebagainya. Pada wilayah yang khusus, sesuatu itu bahkan bisa berupa kearifan pengetahuan (marifat) bahwa memang tidak ada yang pantas dimasukkan kedalam pikiran, jiwa, dan hati melainkan hanya ALLAH SWT.
Oleh: Rusdi Mathari
No comments:
Post a Comment