Abu Nawas kaget, ketika tiba-tiba ia disuruh datang ke istana. Disana telah menunggu baginda raja yang tengah duduk tegap di singgasana istana.
"Apa kabar, Abu Nawas?" sapa baginda. Aku benar-benar mengharap bantuanmu". Bantuan apa, baginda?" Abu Nawas balik bertanya.
"Begini, Abu," Baginda mulai bercerita, "Aku dengar Tuan Habul sudah mulai membangkang terhadap kewajiban negara. Pembantu-pembantuku di daerah melaporkan kalau dia sudah tidak mau lagi membayar zakat. Padahal dia orang yang kaya raya". "Mengapa Baginda tidak panggil saja dia ke istana? Lantas jebloskan ke dalam penjara. Habis perkara. Gitu aja kok repot..."
"Sebenarnya bisa saja aku berbuat begitu. Tapi apa tidak ada cara lain? Soalnya sayang kalau aku menghukumnya. Bagaimana pun dulu dia adalah orang yang paling rajin membayar zakat. Tapi entah mengapa, semakin dia kaya, semakin malas pula dia membayar zakat."
Sebenarnya kalau ingat nama Tuan Habul, Abu Nawas inginnya dia dipenjara. Karena seantero negeri tahu, Tuan Habul orang yang sangat pelit. Hampir tidak ada orang yang menyukainya. Kecuali mungkin antek-anteknya saja. Tapi karena ini perintah baginda, mau tak mau Abu Nawas ikut pula memikirkan jalan keluarnya.
"Begini saja, Baginda," usul Abu Nawas. "beri hamba kesempatan berpikir untuk membuat dirinya sadar. Tapi tentu saja selama berpikir, hamba tidak bisa bekerja mencari nafkah buat keluarga. Oleh sebab itu hamba minta ganti rugi selama hamba berpikir menyelesaikan masalah ini."
"Sudah kuduga sejak semula. Kau pasti meminta imbalan kalau kuminta bantuan. Ini bawa!" ujar baginda kesal seraya menyodorkan uang dua ratus dinar kepada Abu Nawas. Sambil cengar-cengir, Abu Nawas membawa pulang uang pemberian Baginda.
Seminggu kemudian Abu Nawas datang ke istana. Dia datang dengan segudang rencana yang telah disusunnya.
"Bagaimana, Abu Nawas? Sudah ketemu jalan keluarnya?" tanya Baginda.
"Beres Baginda. Cuma caranya Baginda dan saya harus menyamar menjadi pengemis. Apakah Baginda bersedia?".
Semula Baginda agak kaget juga mendengar usul Abu Nawas. Tapi karena keinginan kuat menyadarkan Tuan Habul, Baginda akhirnya bersedia. Dengan menyamar menjadi pengemis, Abu Nawas dan baginda raja datang ke rumah Tuan Habul. Pucuk dicinta ulam tiba, Tuan Habul sedang ada di rumah. Abu Nawas pun segera uluk salam.
"Selamat pagi, Tuan. Kami ini pengemis. Apakah Tuan ada sedikit uang receh?"
"Tidak ada!" Jawab Tuan Habul dengan angkuh.
"Kalau begitu, apakah Tuan punya pecahan roti kering sekadar untuk menggal perut kami yang sedang lapar?".
"Tidak ada!"
"Kalau begitu, kami minta air putih saja. Tidak banyak, masing-masing satu gelas saja." "Sudah kubilang sedari tadi aku tidak punya apa-apa!" Tuan Habul mulai tidak bisa menahan emosinya. Dan rupanya jawaban ini yang ditunggu-tunggu Abu Nawas.
"Kalau Tuan tidak punya apa-apa," cetus Abu Nawas, "mengapa Tuan tidak ikut kami saja menjadi pengemis?" Wajah tuan habul pucat mendengar cetusan Abu Nawas. Rasa marah, tersinggung dan terhina bercampur aduk menjadi satu.
Tapi, Belum sempat kesadaran Tuan Habul pulihm Abu Nawas dan Baginda segera membuka kedoknya.
"Bagaimana, Habul?" kali ini giliran Baginda yang berbicara, "mau pilih jadi orang kaya atau orang yang tidak punya apa-apa, ya ikut saja Abu Nawas mengemis dari rumah ke rumah. Tapi kalau pilih menjadi orang kaya, ya jangan lupa membayar zakatnya. Bukan begitu, Habul?" Mendengar penuturan Baginda, Tuan Habul terdiam seribu bahasa. Dia merasa sangat malu.
Sedang Abu Nawas hanya cengengesan menyaksikan kejadian itu. "Enak saja baginda menyuruhku menjadi pengemis," gumam Abu Nawas sambil mengumpat dalam hati. Apa boleh buat, zakat memang wajib hukumnya bagi orang yang mampu menunaikannya.
(Dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment